Tenun ikat merupakan kain khas Kota Kediri. Kain tradisional itu punya sejarah yang cukup panjang, seperti asal usul Kota Kediri yang merupakan kerajaan tua dengan beragam kekayaan budayanya.
Dalam sejarahnya, tenun ikat sudah ada sebelum Indonesia merdeka atau pada masa pemerintahan Kerajaan Kediri sekitar abad 11-13. Seorang sejarawan asal Belanda, Gerrit Pieter Rouffaer yang melakukan penelitian kain di Indonesia mengatakan, bahwa pola gringsing atau teknik dobel ikat dimana pola tersebut hanya bisa dibentuk dengan menggunakan alat canting, sudah dikenal dan digunakan sejak abad ke-12.
Sejarah tenun ikat di Kediri mulai berkembang diawali oleh warga keturunan Tionghoa pada tahun 1950-an dengan membuka usaha yang memiliki sekitar 200 alat tenun dan ratusan pengrajin. Usaha tersebut terus berkembang seiring dengan berkembangnya perdagangan dengan saudagar-saudagar dari Madagaskar, China, India, Tiongkok dan Arab hingga mengalami masa jaya pada periode 1960-1970.
Namun seiring berjalanannya waktu, kejayaan tenun ikat Kediri kian surut pada tahun 1985, ketika kebijakan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto yang mengimpor ratusan mesin tenun modern sehingga muncul kain tenun dan batik tenun ikat hasil dari pabrik, dengan kecepatan produksi yang melebihi mesin ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) dan harga kain tenun pabrik dijual dengan harga yang lebih murah, sehingga membuat para pengrajin tenun ikat bukan mesin kalah bersaing.
Kini, pengrajin tenun ikat bukan mesin tersentral di Kelurahan Bandar Kidul di Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, Jawa Timur. Lokasinya tak jauh dari alun-alun Kota Kediri atau hanya dibatasi oleh Sungai Brantas. Sekitar 20 rumah industri tenun yang berada di kampung ini rata-rata dikerjakan secara turun temurun hingga tiga generasi. Kain tenun yang dihasilkan mulai dari kain sarung gombyor, kain misris (biasa), semi sutra, hingga sutra. Kain tersebut dibuat berwarna-warni dengan motif Kediren seperti ceplok hingga lung. Kini produk tenun yang di beri label Sinar Barokah sudah dikenal di berbagai daerah hingga luar Pulau Jawa.
Proses pengerjaan tenun menggunakan benang halus ini melewati dua proses pengerjaan dengan 14 tahapan. Proses pembuatan lungsi atau keteng yang melalui empat tahapan yaitu, pencelupan, pemintalan, skeer atau menggulung benang di boom dan proses grayen atau menyambung benang. Proses kedua adalah pemintalan benang putih, reek atau menata benang di bidangan, desain, pengikatan, pencelupan, colet, pelepasan tali, mengurai benang, pemintalan di palet dan yang terakhir adalah proses tenun.
Di Bandar Kidul, proses pengerjaaan tenun tidak harus dilakukan di sentra industri. Pemilik usaha memberdayakan warga sekitar untuk terlibat dalam pelestarian tenun dengan membebaskan warga untuk mengerjakannya di rumah masing-masing sesuai alat yang mereka punya.
Pelestarian tidak hanya sebatas dengan memberdayakan warga sekitar sentra industri. Gelaran Dhono Street Fashion menjadi upaya pemerintah Kota Kediri untuk semakin mengenalkan tenun ikat Kediri. Salah satunya dengan menampilkan tenun yang lebih kasual dan fashionable untuk mendekatkan nilai tenun kepada generasi milenial.
Foto dan Teks : Galih Pradipta