Kontan Online
PHOTO STORY / REG

Mengubah Rupa Orang Rimba

Jumat, 22 Februari 2019


Salah kelola hutan dan pemberian izin pengelolaan kawasan penyangga secara sembarang telah mengubah rupa orang-orang rimba. Mereka yang dulunya hidup sejahtera di tengah belantara, kini terpaksa bertransformasi menjadi "orang kota". Tak sekadar budaya, tapi juga nama dan status agama.

Ketidakadaan hutan telah memaksa Orang-orang Rimba bertahan hidup dengan cara-cara baru. Antropolog Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Robert Aritonang menyebutkan, hilangnya hutan telah mengubah cara penghidupan Orang Rimba di Provinsi Jambi. Mereka bertahan hidup dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Ada yang mengemis, mencuri, dan mengumpulkan sisa-sisa sumber daya yang ada di sekitarnya, seperti bekerja sebagai pencari dan pengumpul brondol kelapa sawit sisa atau pinang di kebun-kebun perusahaan dan warga.

Sementara sisanya, "berhasil" mengubah rupa menjadi pemburu, petani, dan profesi lain, termasuk pelajar dan penyiar. Namun perlu dicatat, kata "berhasil" itu hanya terjadi pada beberapa kelompok Orang Rimba yang telah lama mendapatkan pendampingan aktivis dan interaksi dengan orang luar. Termasuk di dalamnya, kelompok Orang Rimba yang telah memiliki rumah pribadi, rumah cicilan atau rumah permanen bantuan pemerintah. Selain itu, "berhasil" dalam konteks tersebut juga berarti menanggalkan segala kearifan lokal dan kebiasaan leluhur mereka di hutan.

Saat ini, sebagian besar Orang Rimba masih tinggal nomaden dengan segala keterbatasan sumber daya dari satu kebun ke kebun lainnya. Berdasarkan data sensus terbaru yang dilakukan KKI Warsi dan beberapa pihak terkait pada 2018 menyebutkan, jumlah total Orang Rimba di Provinsi Jambi saat ini diperkirakan tinggal 5.235 jiwa saja. Mereka menyebar di lima kabupaten sekitar taman nasional dan Jalan Lintas Sumatera, meliputi Sarolangun (2.228 jiwa), Merangin (1.276 jiwa), Tebo (707 jiwa), Batanghari (629 jiwa), dan Bungo (395 jiwa).

Menurut Robert, pemerintah perlu segera turun tangan mencarikan solusi baru terkait kondisi Orang Rimba terkini. Sedikitnya, kata dia, persoalan Orang Rimba saat ini bisa diklasifikasikan dalam empat kategori. Di bidang ekonomi, tidak sedikit Orang Rimba yang terpaksa mengemis, memungut brondol kelapa sawit atau buah pinang, dan memulung. Di bidang hukum, penerapan hukum adat yang hampir hilang dan penerapan hukum negara yang tidak adaptif terhadap kebiasaan Orang Rimba.

Di bidang sosial, tingginya kompetisi antarkelompok untuk bertahan hidup akibat sempitnya daerah buruan dan masih adanya stigmatisasi di tengah masyarakat. Dan di bidang budaya, adanya pergeseran nilai adat dan penolakan masyarakat global.

Selanjutnya, kata dia, beberapa program yang telah dan akan dilakukan pemerintah perlu dikaji ulang dan disesuaikan dengan kondisi terkini di lapangan. Dia menawarkan, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk mengalokasikan lahan dan hutan sebagai penghidupan Orang Rimba ke depan dan terus melakukan pendampingan dan pemberian layanan pendidikan secara berkelanjutan yang disesuaikan dengan budaya dan pemahaman mereka.

Senada dengan itu, akademisi Universitas Padjadjaran Miranda Risang Ayu PhD menilai kebijakan pemerintah dengan merumahkan Orang Rimba di daerah itu sebagai kebijakan yang terlalu memaksa dan bukan solusi untuk mensejahterakan mereka. Pemberian rumah yang jauh dari budaya Orang Rimba tersebut dinilai akan menimbulkan masalah baru. Dia menyarankan, pemerintah perlu membuat kebijakan baru yang empatis dan sepaham dengan apa-apa yang dibutuhkan Orang Rimba saat ini.

Bukan memaksakan kebijakan sesuai maunya kita (pemerintah), tapi yang baik menurut kebiasaan mereka, katanya.

Foto dan Teks: Wahdi Septiawan

PHOTO STORY LAINNYA