Kontan Online
PHOTO STORY / REGIONAL

Henauka Wowine, saat perempuan menjemput dewasa

Senin, 09 Oktober 2017


Seorang bocah perempuan tersenyum jengah sehingga terlihat gigi depannya yang ompong saat seorang kerabat memuji betapa cantik dirinya setelah dipakaikan riasan pada wajahnya dan seulas gincu di bibir. “Oiii, cantiknyaaa……”, demikian puji Nenek Wa Asa terhadap bocah bernama Nadira tersebut.

Nadira adalah salah satu dari ratusan anak perempuan yang akan mengikuti Karia dalam festival Barata Kahedupa yang berlangsung di Pulau Kaledupa, Wakatobi, Sulawesi Tenggara tersebut.

Dalam kesempatan itu warga Kaledupa yang kebanyakan sudah hidup berumah tangga di luar pulau, yaitu di Wangi-Wangi, Kendari, Buton, hingga Makassar pulang kampung membawa serta anak dan istri mereka ke Kaledupa untuk mengikuti Karia.

Perayaan Karia berlangsung dua hari. Pada hari pertama berlangsung Henauka Mo’ane dan pada hari kedua berlangsung Henauka Wowine. Henauka Moa’ne yaitu perayaan untuk anak-anak laki-laki yang sudah disunat, diarak keliling kampung untuk menjalani sejumlah ritual antara lain landa futa, gunting rambut, dan doa.

Sementara itu Henauka Wowine merupakan ritual yang dilakukan perempuan. Henauka Wowine menjadi semacam perayaan untuk anak-anak perempuan yang sudah melakukan sunat perempuan, serta perayaan bagi anak gadis setelah proses pingitan.

Dalam Henauka Wowine, ada dua kelas usia yang mengikuti Karia, perempuan dalam kategori anak-anak dan perempuan yang menjelang dewasa atau "akil balig" atau telah mendapat menstruasi.

Tujuan Henauke Wowine adalah mempersiapkan seorang perempuan dengan sejumlah pendidikan dan petuah dari nenek untuk berumah tangga kelak.

Sebelum hari berlangsungnya Henauka Wowine, perempuan yang sudah "akil balig" dipingit dalam kurun waktu delapan hingga empat puluh hari. Sementara anak-anak perempuan menjalani prosesi cukur rambut atau langgi-langgi.

Pada pagi hari sebelum acara, anak-anak perempuan akan dirias seperti perempuan yang akan menikah dan dipakaikan baju kombo atau pakaian tradisional.

Setelah itu barulah perempuan ditandu dari rumah menuju lapangan oleh para kerabat laki-laki. Mereka yang mengiringi arak-arakan tersebut kemudian berteriak lego-lego. Lego-lego artinya kami tidak berhutang, secara filosofis bermakna bahwa setiap keluarga yang mengikuti Karia berpartisipasi penuh antara lain dengan menyumbang makanan atau hasil bumi, membuat dan menghias tandu.

Pada akhir acara, seorang tokoh agama akan mengoleskan kunyit pada si anak, di kening dan di kaki, kemudian ditutup dengan doa untuk kehidupan si anak perempuan di masa datang.

Foto dan Teks: Rosa Panggabean

PHOTO STORY LAINNYA