PHOTO STORY / POR

Sepetik harapan mantan tapol di Pulau Buru

Pantai Sanleko
Pantai Sanleko tempat mendaratnya para tahanan politik unit IV saat di buang di Pulau Buru, Maluku.(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Tugu peresmian
Tugu peresmian nama desa Savana Jaya pada masa pembuangan tahanan politik di Pulau Buru, Maluku.(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Berpose di depan rumah
Mantan tahanan politik Solikhin berada di depan rumahnya di Pulau Buru, Maluku.(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Foto lawas
Foto mantan tahanan politik Solikhin memeluk istrinya sebelum ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru, Maluku.(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Foto pernikahan
Foto hasil reproduksi pernikahan tahanan politik Sugito (kedua kiri) dan anak mantan tahanan politik Sugiharti (kedua kanan) pada tahun 1978 di Pulau Buru, Maluku.(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Menetap di Pulau Buru
Mantan tahanan politik Sugito (kanan) bersama istrinya Sugiharti yang juga anak mantan tahanan politik memilih menetap di Pulau Buru, Maluku.(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Anak mantan tapol
Anak mantan tahanan politik bekerja sebagai pegawai di SDN 1 Waepo, Savana Jaya, Pulau Buru, Maluku.(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Hamparan sawah
Hamparan sawah hasil kerja paksa para tahanan politik di Savana Jaya, Pulau Buru, Maluku.(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Panen padi
Foto hasil reproduksi empat tahanan politik saat melakukan panen padi di Pulau Buru, Maluku.(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Berladang
Mantan tahanan politik Diro Utomo berladang di Pulau Buru, Maluku.(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Mencoblos saat Pemilu
Mantan tahanan politik Diro Utomo (kiri) dan anak dari tahanan politik Sugiharti (kedua kiri) melakukan pencoblosan saat Pemilu 2019 di Savana Jaya Pulau Buru, Maluku.(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Memeluk kawan senasib
Mantan tahanan politik Diro Utomo (kiri) memeluk kawan senasibnya Slamet (kanan) di Pulau Buru, Maluku.(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Bergetar tangan Diro Utomo saat menceritakan tersiksanya ia dan ribuan tahanan politik lainnya pada awal masa pembuangan mereka di Pulau Buru untuk dipaksa bekerja membuka hutan dan membuat sawah hanya dengan sebuah cangkul.

Diro Utomo pria berusia 83 tahun itu dibawa ke Pulau Buru pada tahun 1971 dan langsung ditempatkan Unit XVIII meski tanpa ada alasan yang jelas mengapa ia ditangkap dan ditahan.

Pulau Buru yang berada di Maluku menjadi lokasi tempat pemanfaatan (Tefaat) yang kemudian berubahan menjadi Inrehab (Instalasi Rehabilitas) para tahanan politik yang ditangkap pasca-G30S/PKI untuk dimanfaatkan membangun kawasan persawahan.

Namun dari sekitar 12 ribu tahanan politik yang dibawa ke Pulau Buru tak semuanya terkait dengan organisasi terlarang PKI. Banyak dari mereka yang difitnah sebagai anggota PKI karena ada yang tak suka pada mereka.

“Pada saat itu telunjuk lebih mematikan dari pada senjata, seseorang yang tidak suka sama kita dengan mudahnya menunjuk kita sebagai PKI sehingga kita ditangkap dan dijadikan tahanan politik tanpa melalui proses pengadilan”, ujar Diro.

Seperti Solikhin, pria berusia 84 tahun itu ditangkap bersama istrinya pada pertengahan 1966 di Tasikmalaya karena di halaman rumahnya ditemukan peta rencana penyerangan kantor polisi yang sama sekali ia tak pernah melihat peta tersebut sehingga ia harus dibuang ke Pulau Buru pada tahun 1970 dan menghuni unit IV/Savana Jaya.

Selama menjalani kerja paksa, para tahanan politik pun kerap mendapatkan kekerasan dari tentara yang mengawasi mereka selama bekerja di unit masing-masing.

“Boleh dibilang Pulau Buru ini dibangun dengan keringat dan air mata tahanan politik sehingga Buru kini telah menjadi lumbung padi di kawasan Indonesia Timur”, tutur Solikhin yang memilih hidup di Savana Jaya.

Mulai tahun 1972, banyak istri dan anak para tapol didatangkan dari Pulau Jawa sehingga setelah masa pembebasan pada tahun 1979 banyak para mantan tahanan politik lebih memilih menetap di Pulau Buru tempat dimana mereka menghabiskan waktunya dalam bekerja paksa.

Kehadiran anak-anak tapol yang masih gadis pun menimbulkan benih-benih cinta dari para tahanan politik yang masih bujangan. Banyak dari mereka yang menikah dan memilih menetap di Buru.

Seperti Sugito, pria kelahiran 1942 itu jatuh hati dengan seorang anak tahanan politik bernama Sugiharti yang akhirnya menikah pada masa tahanan politik 1978 meski di akte pernikahannya tertulis pekerjaan seorang tahanan politik.

Para mantan tahanan politik yang berada di Pulau Buru kini sudah hidup dengan tenang, ada yang menghabiskan sisa hidupnya dengan bertani hingga membuka warung untuk memenuhi kebutuhan hidupnnya.

Mereka pun telah berbaur dengan para transmigran yang didatangkan dari Pulau Jawa meski sesekali ada saja yang menyebut mereka “dasar PKI” bila ada seseorang yang jengkel dengan mereka.

Pascapemilu 2019, mantan tahanan politk berharap siapapun presiden yang terpilih nanti dapat mengembalikan nama baik mereka dan keluarganya agar mereka dapat hidup lebih aman dan tentram. Harapan tak terjadi lagi peristiwa yang pernah mereka rasakan pun terus terucap.

Foto dan teks : Hafidz Mubarak A

PHOTO STORY LAINNYA