PHOTO STORY / ENTERTAINMENT

Layar tancap tetap bertahan di era digital

Pemutaran film layar tancap
Suasana pemutaran film layar tancap pada pesta pernikahan di Bogor (19/3).(REUTERS/BEAWIHARTA)
Penonton layar tancap
Warga menonton film pada pesta pernikahan di Bogor (19/3).(REUTERS/BEAWIHARTA)
Pemutaran film layar tancap
Suasana pemutaran film layar tancap pada pesta pernikahan di Bogor (19/3).(REUTERS/BEAWIHARTA)
Tumpukan film 35 mm
Tumpukan kaleng film 35mm terlihat di rumah Kamaludin di Tangerang, Banten (11/3).(REUTERS/BEAWIHARTA)
Memeriksa kondisi film
Kamaluddin memeriksa kondisi film 35mm di rumahnya, Tangerang, Banten (11/3).(REUTERS/BEAWIHARTA)
Memperbaiki kerusakan film
Seorang pekerja menghubungkan kembali sebuah strip film yang rusak sebelum pesta pernikahan di Bogor (18/2).(REUTERS/BEAWIHARTA)
Mengembangkan layar bioskop
Pekerja mengembangkan layar bioskop sebelum pesta pernikahan di Bogor (18/2).(REUTERS/BEAWIHARTA)
Proyektor pemutar film
Seorang operator mengoperasikan proyektor pemutar film pada pesta pernikahan di Bogor (18/2).(REUTERS/BEAWIHARTA)
Pemutaran film layar tancap
Sebuah mobil melintas di dekat layar pemutaran film pada pesta pernikahan di Bogor (18/2).(REUTERS/BEAWIHARTA)
Penonton layar tancap
Warga menonton film pada pesta pernikahan di Bogor (18/2).(REUTERS/BEAWIHARTA)
Penonton layar tancap
Anak-anak duduk menonton film pada pesta pernikahan di Tangerang (15/4).(REUTERS/BEAWIHARTA)
Penonton layar tancap
Seorang anak berdiri saat menonton film pada pesta pernikahan di Bogor (18/2).(REUTERS/BEAWIHARTA)

Pengusaha bioskop keliling alias layar tancap Kamaluddin sangat menyukai film 35 milimeter tua sehingga ia menghabiskan sebagian besar akhir pekannya untuk memutar film klasik di pesta pernikahan dan pesta-pesta lain di sekitar Jakarta.

Hampir semua pembuat film dan bioskop tidak menggunakan format 35 mm dalam dekade terakhir. Mereka beralih ke format digital yang memiliki kualitas resolusi lebih baik dan lebih murah.

Tapi bagi Kamaluddin, menjalankan layar tancap berarti membawa nostalgia dan hiburan ke penduduk kota kalangan bawah.

"Ini lebih artistik dan suaranya jauh lebih baik daripada digital," katanya. "Jika Anda menonton tiga film berturut-turut, Anda tidak akan merasa lelah, santai saja."

Dia mengangkut proyektor 35 mm dan sound system, film, layar dan tenda besar di truknya. Lokasi pemutaran biasanya berupa lapangan terbuka, atau halaman rumah pelanggan yang mengadakan perayaan.

Film-film biasanya diputar malam sampai dini hari, diramaikan dengan sejumlah pedagang kaki lima yang menjual barang dagangan mereka ke para penonton.

Pengunjung memperoleh kesempatan untuk menonton film-film dari era keemasan Hollywood dan film-film dari Bollywood India, yang sudah lama beredar.

"Bioskop ini gratis dan kita bisa menonton film-film lama yang jarang kita temukan," kata Nurul Fitriyah, salah satu penonton layar tancap.

Namun, penghasilan pengusaha layar tancap saat ini telah turun signifikan akibat kelas menengah yang lebih muda lebih senang ke bioskop ber-AC yang menawarkan kursi santai, atau bahkan tempat tidur, di samping makanan cepat saji dan minuman ringan.

"Pada tahun 1997, dalam satu malam saya bisa memasang empat layar di empat lokasi yang berbeda," kata Kamaluddin, yang memperkirakan pekerjaan saat itu bisa menghasilkan Rp 4 juta per malam.

"Sekarang, jika saya beruntung, saya hanya memasang proyektor dua kali sebulan dan menghasilkan sekitar Rp 1,5 juta per malam."

Teks dan Foto: REUTERS/Beawiharta

PHOTO STORY LAINNYA